Apa?
Siapa?
Di
mana?
Kapan?
Kenapa?
Bagaimana?
Diksi-diksi tanya ini
mendasari sifat manusia: penasaran.
Padahal Tuhan hanya
menganugerahi satu mulut pada satu insan saja, tak lebih dan tak kurang,
mungkin, agar aku (manusia) bertanya seperlunya, tentang hal-hal yang
hanya bisa dipertanyakan, bukan hal-hal yang tak pernah menghasilkan jawaban.
Rasa penasaran
menempatkan diri lebih dari hati - memaksa otak untuk berkonspirasi dengan
tangan dan mata, untuk menjadi pemuas kalimat tanya yang tak sempat dilafalkan.
Stalking. Investigasi kelas teri.
Penyelidikan amatir.
Hanya bermodalkan titel
peselancar maya.
Bukan agen mata-mata
tingkat mahir. Bukan James Bond ataupun Ace Ventura.
Sekali lagi, cuma
peselancar dunia maya biasa.
Lalu,
kalimat tanya itu memang berujung jawaban, namun seringkali tidak memuaskan,
tak sesuai keinginan, bahkan menuju mengecewakan. Jawaban itu bertajuk: asumsi. Hipotesa
sementara.
Terkadang, aku
menyesal. Kenapa selalu bertanya-tanya, kenapa kerap merasakan penasaran, dan
kenapa harus tak puas hanya dengan jawaban lisan.
Nah,
kalimat tanya kembali, bukan?
Lebih baik tak
bertanya, bila jawabannya membuat kecewa. Ataukah,
lebih baik tahu bahwa
itu kecewa, makanya bertanya?
Entahlah,
sudah kecewa, dan
berkata enggan untuk diksi tanya lagi,
tetap mengulanginya
kembali. Mengulang kalimat-kalimat berakhir tanda tanya kembali.
Apa?
Siapa?
Di
mana?
Kapan?
Kenapa?
Bagaimana?
Sampai akhirnya kecewa
dan terjatuh lagi.... ~____~"
#.. errr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar