Hari ini, gerimis memenuhi pipiku.
Saat mata berkeliling pun, awan kelabu memenuhi pandangan.
Enggan melangkah, enggan mengusir, aku hanya diam terpaku menikmati takdir.
Luka itu begitu cepat menandatangani dirinya atas kontrak kerjasama untuk mematikan sistem kerja hati.
Lalu ada pasrah yang tak memiliki arah, mengguncangkan diriku dengan zat-zat khawatir yang dia punya.
Ratusan kali aku bertanya, “Salahkah jatuh cinta?”
“Salahkah jika dia yang aku cinta?”
Untuk jatuh yang kesekian kali, apa benar aku telah hilang kendali?
Putaran-putaran waktu yang sempat terekam dalam kepala adalah kenangan-kenangan yang terasa begitu nyata dan cukup menyiksa.
Nada-nada sunyi di plokamirkan semesta.
Dalam sebuah labirin,
aku mendikte diriku sendiri agar coba melangkah menemukan pintu keluar.
Entah bagaimana caranya, entah kapan selesainya,
disebuah ketidakpastian ini aku hanya berharap.
Saat luka mendengung, aku menutup telingaku.
Saat kecewa mengingatkanku, aku melupakannya dengan cara bersyukur.
Saat apa yang dilihat mata jauh lebih menyakitkan dari yang dirangkum oleh kepala, aku hanya percaya hati bisa lebih bijaksana meleraikan rasa.
Saat inginku tak selaras dengan inginMu, ini waktunya untuk bergegas menyerahkan seluruh percaya pada Ahlinya.
Saat segalanya terasa tak adil, sebenarnya cerita yang luar biasa sedang Tuhan cicil. Berhentilah berpikir bahwa Tuhan mengunci mulutnya.
Diam yang tercipta mungkin hanya mendeteksi sejauh mana kamu telah percaya.
Hari ini, aku tersenyum. Bersyukur atas sebuah ‘tidak’ yang Tuhan berikan dan berterima kasih untuk sebuah ‘iya’ yang Tuhan selipkan dalam sebuah formula bernama ‘bahagia’.
tapi aku tetap ingin percaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar