Beberapa waktu belakangan ini, aku merasakan sebuah perasaan homesick yang luar biasa menggebu-gebu. Berada di kompleksitas yang berhasil membuat permukaan terluar hati mengelupas perlahan. Memaksa ku untuk berulang kali menghela nafas. Mulai mengeluhkan hal-hal yang biasa dilontarkan
Ya. Mengeluh tentang panas, beringas,, emosional dan apatis–sama halnya seperti berkata bahwa gula itu manis. Garam itu asin. Cuka itu asam. Dan ya, obat itu pahit. Retoris.
kejenuhan adalah salah satu hal lumrah yang mampu menjangkiti manusia. Semacam virus yang mendekam hati, pikiran, hingga syaraf-syaraf penghantar rangsang, tanpa mengenal waktu yang tepat untuk kambuh dan menunjukkan eksistensinya. Dan, jujur saja, beban yang menghampiri dari segala sisi sudah mulai menutupi ruang kosong dalam otak ini. Sudah mulai mendominasi, bertumpuk secara serampangan di dalam lahan dengan volume tak seberapa ini.
Dan betapa hebatnya Tuhan, karena Dia telah merancang manusia dengan segala kerumitannya, lengkap dengan ‘obat penawar’ yang beragam untuk seluruh kompleksitas masing-masing manusia. Ya, aku percaya, badai pasti berlalu, walau akan datang badai-badai lainnya. Semua masalah pasti terlewati. Setiap beban pasti akan segera beranjak ringan, meskipun akan datang beban-beban lain dalam varian bentuk yang lain.
Tapi, dengan mencengangkan, ‘obat penawar’ itu telah tumbuh berkembang dalam diri setiap manusia. Menjadi superhero ketika merasa lemah. Menjadi Charlie Chaplin, di kala didominasi rasa jengah.
Bagaimana dengan aku, seorang yang sibuk dan mengusung kecepatan dalam setiap pekerjaannya?
Rasanya, aku ingin menepi. Beristirahat barang beberapa lama, hanya untuk meneduhkan kembali hati yang telah berperan seperti mixer. Mencampuradukkan rasa hingga menjadi saripati. Memaksanya untuk kembali berdiam, meleburkan tumpukan beban yang telah dikerubungi debu. Membakarnya habis hingga menjadi abu.
Atau, aku ingin memangkas habis semua jalinan beban dan emosi yang tumbuh menjuntai hingga ke mata kaki. Merelakannya pergi, berpadu dengan sampah-sampah yang mengusung sumpah serapah. Mengosongkan ruang dalam batin, dan menghempaskannya ke sebuah kotak pandora maya yang terkunci dalam brankas terdalam hati. Biarkan ia di sana. Mengendap, menjamur, dan kehabisan udara untuk bisa tumbuh. Biarkan beban hanya akan menjadi virus. Biang. Bakteri.
Ya, atau apapun itu lah. Biarkan beban menghilang di sana.
Dan pastinya, yang bisa menghilangkan beban ini bukan Anda. Bukan kamu. Bukan mereka. Bukan dia. Bukan siapa-siapa. Karena beban sendiri bersifat soliter. Individual. Antisosial. Oleh karena itu, biarkan dia mendekam di sana, sampai dia bosan.
Lalu, dia akan pergi, dengan caranya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar