Jarak-spasi-ruang itu ada, memberi kesempatan bagi rindu untuk bernafas, untuk bernyawa, untuk menunjukkan keberadaannya.
Rasanya, bukan kali pertama ini saya membahas tentang hubungan antara jarak dan rindu. Tentang bagaimana mereka saling menciptakan, saling membutuhkan, saling melahirkan. Pasalnya, beberapa tahun ini, saya memang terpisah ratusan sekian kilometer dari kota yang saya sebut: rumah.
Namun, belakangan ini, sejak hal A, hal B, hal C terjadi secara bertubi-tubi–seperti bom tersembunyi yang siap meledak dalam rentang waktu tertentu–rasanya sebuah jarak akan terbentang luas kembali dalam setiap lini kehidupan saya: keluarga-pertemanan-pekerjaan.
Pasca terbentuknya jarak, mungkin saya akan seperti seseorang yang mengalami konsep reinkarnasi, konsep terlahir kembali. Menjadi seorang yang baru, yang memiliki kehidupan baru, yang akan meninggalkan rutinitasnya yang sudah terbentuk selama hitungan tahun.
Mengenal jarak yang akan lahir inilah, rasanya sebuah perasaan menyesak mulai terbangun menggeliat. Menyesak karena tahu berbagai kemungkinan yang akan terjadi: kemungkinan dia akan mencibir, dia yang lain akan menjauh, dia yang lainnya akan berbeda, dia yang satunya lagi akan menganggap rendah, dia yang satunya pun akan menghindar perlahan, menjadi kumpulan kasak-kusuk di belakang.
Dari dalam sanalah, ia–sang perasaan sesak–bergerak perlahan, menaik-turunkan suhu tubuh yang terukur dari genggaman tangan, menggelitik bibir untuk tersenyum pahit, membuat wajah memerah hebat, lantas mendorong bulir-bulir air keluar dari rumahnya–kelopak mata.
Karena, pada akhirnya, mereka–dia, dia, dan dia–akan berjarak sangat jauh-jauh-jauh sekali, menyerupai sekian puluh ribu kilometer, dalam kecepatan sekian tahun cahaya.
Dan, fakta itulah–fakta bahwa kelak mereka akan menjauh, menyamar, lantas menghilang–yang membuat rasa rindu yang baru seumur jagung ini makin menjamur, makin meluas, makin membesar, tanpa diminta, tanpa kenal batasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar