“Life is much more simple when you’re young” ~ Pet Shop Boys
Beberapa hari lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kawan lama. Perbincangannya memang nggak jauh-jauh, selayaknya 2 orang sahabat yang sudah bulanan nggak bertemu muka. Kami saling bertanya kabar: saya yang sedang sibuk-sibuknya bekerja; dia yang sedang sibuk-sibuknya mengurus anak dan kantor pribadinya.
Lalu, dari sekian panjang percakapan kami, terlontarlah satu ucapan yang merangkum isi pikiran saya. Isi pikiran dia. “Pusing ya udah dewasa mah, enakan pas SMP. Enakan pas SMA,” tulisnya.
Memang, pertambahan usia cuma perubahan nominal yang abstrak. Tidak terlihat pengukuran yang jelas–apakah setiap tahun pasti bertambah ukuran tubuh; apakah setiap tahun bertambah bobot fisik; ataukah setiap tahun bertambah jumlah penyakit. Belum tentu bertambah. Bisa tetap. Bisa berkurang. Relatif.
“Yang nambah itu beban hati. Tambah berat. Tambah bikin pusing,” ucap sang kawan lama.
Ya. Beban hati itu mungkin seperti batu kerikil di masa megalitikum yang umurnya sudah ribuan tahun. Berat. Susah diangkat. Susah dipecah.
Tidak seperti perhitungan usia yang bertambah satu tiap tahunnya, saya rasa, deret angka jumlah batu imajiner ini selalu bertambah satu, lalu dikuadratkan. Misalnya, di usia 1, beban hatinya adalah (1+1) x (1+1) = 4. Di usia 2, beban hatinya adalah 16. Dan seterusnya.
Jadi, menurut teori asal-asalan saya, nggak terbayang berapa jumlah kerikil imajiner yang menghuni seisi jaringan tubuh sampai detik ini, kan?
Semakin banyak beban hati yang menjadi “parasit”, maka semakin banyak pula keluhan yang terlontar dari mulut para kaum dewasa. Atau kaum yang merasa mereka sudah dewasa. Kaum yang memaksa dirinya menjadi seorang dewasa. Seorang grown-up.
Mereka–kaum dewasa–kerapkali mengeluhkan hal-hal yang dianggap penting: politik, kalkulasi bisnis, perhitungan untung-rugi, jumlah penduduk kota yang kian bertambah, jumlah angkutan umum yang tak sesuai harapan, dan banyak hal “penting” lainnya.
Batu imajiner yang terlalu banyak ini–mungkin–membuat mereka malas menambah beban hati mereka dengan hal-hal kecil. Seperti “kenapa hujan bentuknya butiran”, “kenapa ada kucing yang bersuara manis, ada juga yang parau”, atau “kenapa gula rasanya manis, kenapa nggak masam? Kenapa nggak pahit?”.
Nggak ada waktu mikir hal-hal nggak penting kaya gitu. Nggak ada waktu untuk berkhayal dan bermimpi kaya anak kecil.
quote menohok. Quote yang membuat saya terdiam sesaat, memaksanya untuk masuk ke dalam otak saya, lalu dicerna dalam bentuk debaran kencang.
“And I might become like the grown-ups who are no longer interested in anything but numbers”.
Yap.
Sekarang, saya memang bekerja dalam sebuah cafe kreatif, yang seharusnya bertindak idealis. Sayangnya, pada kenyataannya, bisnis tetaplah bisnis. Angka menjadi satu hal yang penting. upah lo kurang, nggak ngedatengin iklan, omzet mepet. Yah, begitulah kasarnya. Angka tetap angka. Nominal kembali menjadi hal utama.
And, maybe, dear , I’ve become that person. That kind of person who are no longer interested in anything but numbers. And, indeed, those numbers has contaminated my mind, dear.
Nggak heran, kalau beragam kallimat penyesalan bergulir dari mulut kaum manusia seusia saya–mereka-mereka yang menganggap diri sudah dewasa. Ungkapan perihal “if I could just turn back the time” dan bla-bla-bla lainnya pun menjadi buah pikiran terdalam yang nggak pernah dilafalkan.
Lalu, setelah penyesalan berlarut-larut, mereka-mereka–termasuk saya–kembali ke kehidupan nyata, yang tetap berbicara tentang angka. Tentang jumlah. Tentang nominal. Tentang ngana-nganu yang dianggap penting oleh para kaum dewasa.
Lalu, mereka mulai melupakan hal-hal sederhana yang pernah dianggap “wah” di masanya. Di masa ketika angka belum menjadi prioritas. Belum menjadi kebutuhan. Belum menjadi keinginan.
Belum menjadi segalanya.
#garuk2 pala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar