Rabu, 14 Mei 2014

surat pengunduran diri

Untuk seseorang yang pernah begitu kupahami,

Maaf kalau harus menyebutkan kata-kata ‘pernah’. 
Karena memang pernah dan kini tak lagi. Ada sebuah batas transparan dari dirimu yang kini tak pernah bisa kusentuh.
 Arena khusus yang tak lagi menyertakan aku dalam arenanya. 
Pikiranmu yang tak bisa lagi kuterka akan kemana tujuannya. 
Ada banyak hal sederhana yang kini berformula jadi rumit. 
Dan seolah-olah perubahan-perubahan ini membuat kita saling menyalahkan diri sendiri. Bukan salahmu, jika ada yang harus selesai di antara kita.
Bukan salahku, jika tak bisa lagi meneruskan setiap rasa pertama kali yang pernah kita bagi. Ini hanya cara kita belajar bahwa memang perlu ada yang berubah.
Dan biarkan waktu yang mengajari kita untuk menerimanya, ya?
Aku undur diri, atas segala rasa yang nantinya bisa memperburuk kondisi hati.
 Aku undur diri untuk menitipkan lagi segala rasa yang pernah kuberi dulu. 
 Langkahku pelan-pelan menjauh, mungkin kenangan akan begitu riuh, tapi takkan membuat beberapa luka semakin melepuh.
 Maaf jika aku tak mampu lagi bertahan, dan maaf jika aku secepat ini melepaskan. 
Namun hal-hal pahit, harus kau cicipi lebih dulu agar kau tahu apa rasanya manis. 
Sesendok pelajaran sedang kita lahap bersama-sama, tentang kenyataan bahwa tak seharusnya lagi kita bersama. 
Lepaslah dengan rela.
 Karena suatu hari, kita akan sama-sama tersenyum mengingat hari ini.

Memasuki pekarangan hatimu adalah cara terbaik mengenal cinta. Dan mengundurkan diri adalah satu-satunya hal yang paling tepat untuk menjauh dari pergerakan luka. 
Kita akan baik-baik saja. Selamat menemukan yang lain selain aku.

Dari yang langkahnya baru saja menjauhi kediamanmu.

Selasa, 13 Mei 2014

untuk setiap hati...

Samar yang setipis kertas, 
di antaranya ada sebuah batas. 
Tidak ada peraturan yang begitu kuat untuk memisahkan
 antara cinta dan sebuah penyangkalan.
 Ketakutan punya sejuta kekuatan yang melebih-lebihi segala rasa saat ia mulai beraksi. 
Nyawa hati belum kembali pulih 
seusai ia habis-habisan disakiti oleh yang begitu ia cintai. 
Jika kini ia ditawari rasa yang serupa dengan apa yang dulu ada,
 hati hanya terlalu takut ia terburu-buru.
 Terlalu takut lagi-lagi ia tak berhati-hati. 
Caplah aku pengecut atau penakut, tapi ini upaya melindungi hati yang terlalu sering mencintai tanpa setengah-setengah. 
Hingga akhirnya, ia benar-benar patah.