curhatitis
diusia 27th
Menginjak
usia seperempat abad bukanlah hal yang menyenangkan, jika boleh diingat-ingat.
Rasanya baru dua bulan berlalu, sejak saya menggenggam jabatan usia
"perak" ini, pertanyaan demi pertanyaan sudah bergulir hebat:
"Kapan
menikah?" atau "Nunggu
apalagi sih?" atau"Mana
calonnya?". Yayaya. Standar, bukan?
Alhasil,
pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan sebuah helaan nafas dan
senyum tentunya.
Anggap
saja doa, bukan untuk menjatuhkan. Bukan untuk menjatuhkan.
Ya,
pertempuran kupu-kupu dan kecoak dalam hati selalu terjadi saat pertanyaan
tersebut terlontar, dari siapapun itu. Antara dongkol, mendumel, hingga ingin
menyusupkan petasan di mulut sang penanya, atau hanya tersenyum tipis, dengan
mata yang terpaksa menyipit.
But
anyway, sebenarnya buat apa saya kesal, ya?
Nikah
merupakan ikatan (akad) perkawinan yg dilakukan sesuai dng ketentuan hukum dan
ajaran agama: hidup sbg suami istri tanpa -- merupakan pelanggaran thd
agama; (sumber: KBBI)
Memang,
bagi setiap orang, arti menikah itu beda-beda. Ada yang menikah karena disuruh
keluarga. Ada pula yang menikah karena desakan keadaan dan kondisi. Pun ada
yang menikah cuma gara-gara ingin mendapatkan penghidupan yang layak.
Dari
kecil, saya adalah sosok anak perempuan yang disusupi dongeng-dongeng
mengenai happy
ending yang terjadi seusai ikatan pernikahan terjadi.
Pasangannya, tentu saja seorang pangeran berkuda putih yang charming dan baik
hati. Tak heran bila ketika dewasa, saya mendambakan hal itu pula. Bertahtakan
gaun putih dengan rangkaian bunga di tengah taman, tentunya dengan buket bunga
di tangan.
Tetapi,
perihal menikah tidak sesederhana itu bukan?
Menikah
itu adalah hal sakral.
Bukan persoalan sepele, receh dan bisa dianggap enteng.
Bagi
saya, ikatan pernikahan cukup berlangsung sekali, dengan waktu dan pasangan
yang tepat.
Menikah
merupakan jembatan menuju sebuah kehidupan yang sebenarnya. Agama sudah
berperan di sana. Bukan hanya sekadar rangkaian diksi bertema cinta. Bukan cuma
tertulis di buku dan surat nikah saja.
Rasa,
tanggung jawab dan kesiapan tidak bisa direkayasa.
Meskipun,
memang tak bisa disangkal, wanita memiliki batas usia biologis bagi sebuah
pernikahan, khususnya bila kelak ingin memiliki keturunan.Otomatis, ketika
sudah menginjak usia dua lima, makhluk bergender ini akan sering ditanyai
perihal pernikahan.
Tapi,
semua akan terjadi pada waktu yang tepat, dengan orang yang tepat dan juga
tempat yang tepat. Dan pasti, hati yang siap. Bukan hati yang setengah
terpaksa, atau pikiran yang masih berkubang di masa lalu.
Everbody
have their own perfect times to be happy. And I'm pretty sure, I'll
recognize my own perfect time, later. Just, be patient.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar